Minggu, 23 Maret 2008

Ahmadiyah Manislor




Potret Minoritas Ahmadiyah Manislor...

Kamis (13/12) menjelang tutup tahun, menjadi hari kelabu bagi upaya penegakan HAM, terutama terkait kebebasan untuk beribadah dan berkeyakinan.

Jerit tangis ratusan ibu-ibu berjilbab, disertai doa khusyuknya, tak kuasa membendung langkah Satpol PP Kuningan untuk menyegel Masjid-Masjid Ahmadiyah di Desa Manislor.

Kenekadan aparat negara, dalam hal ini Pemkab Kuningan untuk menyegel Masjid-Masjid tak bisa dipahami oleh akal ibu-ibu itu dan ratusan Jamaat Ahmadiyah disana. Mereka masih tetap merasa sebagai bagian dari anak ibu pertiwi. Dalam benak mereka, ada keyakinan bahwa negara akan melindungi hak-hak sipil mereka. Namun tak habis pikir, hak mereka untuk berkeyakinan dan beribadah justru diinjak-injak, bahkan dirampas oleh negara itu sendiri. Apalagi alasan yang dipakai Pemkab Kuningan hanya didasarkan pada sebuah SKB antara Muspida, Pimpinan DPRD, MUI dan Ormas Kabupaten Kuningan.

Keberadaan SKB pelarangan Ahmadiyah di Kuningan, menurut para ahli hukum, tidak mempunyai kekuatan hukum sama sekali. Tapi kenapa Pemkab Kuningan berani mengambil tindakan? Berpijak pada SKB itu, mereka lantas mengemukakan alasan keamanan. Atas nama keamanan inilah mereka membatasi kebebasan warganya untuk beribadah dan berkeyakinan.

Logika apa yang mereka pakai? Menurut mereka, situasi akan aman dan terkendali jika ada pembatasan terhadap aktivitas keagamaan Jamaat Ahmadiyah di sana. Pertanyaan yang kemudian mengemuka, ketidakamanan apa sesungguhnya yang terjadi ketika Jamaat Ahmadiyah Manislor menikmati hak-hak sipil mereka dalam beribadah dan berkeyakinan?

Kehadiran Ahmadiyah di Manislor telah ada sejak 1954. Selama rentang waktu lebih dari setengah abad itu, mereka hidup normal dan proses sosial berjalan baik. Adanya fakta ini, mestinya aparat bisa melihat bahwa eksistensi Ahmadiyah Manislor bukanlah faktor penyebab ketidakamanan. Mereka tidak pernah membuat huru-hara dan selalu taat pada pemerintah. Tapi kenapa Pemkab Kuningan gegabah dengan menerbitkan SKB dan dilanjutkan menyegel Masjid Jamaat Ahmadiyah? Pemkab Kuningan mestinya jujur menjawab ini.

Fakta menunjukkan, tiga minggu sebelum penyegelan terjadi, Jamaat Ahmadiyah Manislor mendapat surat bernada teror dan ancaman dari mereka yang mengaku sebagai komponen masyarakat Kuningan. Mereka mengancam akan melakukan tindak kekerasan jika para Ahmadi tidak menanggalkan pengakuannya sebagai Muslim. Bahkan mereka menghalalkan darah warga Ahmadiyah. Spanduk bernada provokasi pun dipasang di gerbang Desa Manislor.

Jamaat Ahmadiyah Manislor tidak melakukan upaya perlawanan. Mereka hanya bisa meminta perlindungan pada aparat kepolisian, karena serangkaian teror itu menyebabkan kehidupan sosial mereka terganggu. Tidak ada lagi rasa aman. Kegelisahan dan ketakutan pada ancaman itu terus membayangi mereka. Merespon ketakutan warganya ini, aparat pemerintah justeru melakukan tindakan di luar nalar sehat. Untuk kedua kalinya, dalam 5 tahun terakhir, aparat menyegel dan menutup Masjid-Masjid Ahmadiyah

Fakta ini adalah potret kelabu kebebasan beragama di Indonesia. Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 dengan jelas menyebutkan, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayannya itu." Tapi ternyata, pemerintah sendiri justru melanggar isi UUD 1945 yang seharusnya menjadi pedoman negeri ini.

Dengan demikian, Jamaat Ahmadiyah Manislor telah diberlakukan tidak adil dan diskriminatif. Padahal Bab X Pasal 28 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan, "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif". Pedoman inipun tak dijalankan.

Sebagai bukti misalnya, Jamaat Ahmadiyah Manislor yang ingin menikah di desanya harus menyimpan mimpi itu dalam-dalam karena pegawai pencacat nikah di sana tidak mau menikahkan mereka, selama calon mempelai tidak meninggalkan kepercayaan dan keyakinannya sebagai Ahmadi. Selama lima tahun terakhir, tercatat 140 pasang mempelai terpaksa menikah di luar Manislor, demi mempertahankan akidah yang diyakininya. Belum lagi mereka yang berkeinginan berhaji ke Makkah, terpaksa harus berangkat dari luar Kuningan. Semua itu menunjukkan bahwa aparat telah menyalah-gunakan jabatan dan wewenangnya dengan melakukan diskriminasi bagi pelayanan publik terhadap Jamaat Ahmadiyah Manislor.

Mendapati diskriminatif itu, Jamaat Ahmadiyah Manislor hanya pasrah. Belum lagi kekerasan dan teror yang mereka alami pada 2002 dan 2005 belum hilang dalam ingatan mereka. Bahkan sebagian dari mereka mengalami trauma hebat. Tahun 2005 misalnya, saat warga Ahmadi menjalankan shalat Shubuh, tiba-tiba tempat shalat Jamaat wanita dilempar bola api. Kontan mereka panik. Bahkan banyak rumah Ahmadi yang rusak berat akibat dihancurkan kelompok penentang.

Tak hanya wanitanya, anak-anak pun menjadi korban. Penutupan dan penyegalan pada pertengahan Desember 2007 lalu, mengakibatkan anak-anak tidak bisa mengikuti kegiatan Madrasah yang biasa dilaksanakan di Masjid. Akhirnya, hak mereka untuk mendapatkan pendidikan, dengan sendirinya telah direnggut pemerintah.

Pertanyaannya, ketika aparat tidak lagi mampu melindungi, bahkan justru turut merampas hak-hak asasi Jamaat Ahmadiyah Manislor, ke mana lagi dan kepada siapa mereka akan mendapatkan keadilan? Adakah tempat lain di bumi pertiwi tercinta ini, yang mampu memberi rasa aman dan menjamin kebebasan beragama, tanpa harus takut ancaman dari kelompok lain yang terus memaksa mereka melepas keyakinannya selama ini?

Tidak ada komentar: